Rabu, 18 Maret 2015

Homesick

Oh. Aku aku begitu merindukan rumah. Aku kembali bu, anakmu kembali. Berlibur seperti ini sangat jarang ku lakukan. Kekhawatiran ku terhadap ibu ku membuat aku pulang ke rumah, rumah kecil ku. Kembali ke rumah merupakan sesuatu yang mengembalikan ku ke masa lalu. Mengingatkan ku akan semuanya, menegurku. Semua terasa berbeda, di kota orang aku merasa menjadi orang lain, menjadi pribadi yang lain. Terasa arogan, menyombongkan diri. Tapi tidak, tidak untuk kembali, semua terasa berbalik. Kembali merupakan pilihan yang benar, kembali ke rumah membuat aku tersadar akan status ku. Derajat ku. Dunia ku. Kehidupan ku. Keluarga ku. Semuanya. Semuanya berbeda. Aku kembali menjadi gadis dari sebuah keluarga miskin, meski aku dengan bersusah payah bekerja untuk membuat ibu ku mendapatkan apa yang layak untuknya, tetap saja, itu belum cukup. Aku merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan masa mudanya yang penuh perjuangan, penuh kesedihan, penuh penderitaan. Aku selalu memikirkan, bagaimana caranya agar keluarga ku bisa hidup layak, seperti orang-orang. Agar anak-anak mereka mendapatkan gizi yang layak, kebutuhan dan perkembangan yang layak. Pikiran bahwa anak-anak mereka akan tumbuh menjadi anak yang minder, itu sangat-sangat menggangguku. Aku tidak ingin mereka merasakan hal yang sama seperti ku dulu, minder. Satu hal yang membuat aku percaya diri hanyalah kepintaran yang ku punya, selebihnya aku selalu mengingatkan diri untuk sadar bahwa aku bukan anak orang kaya.

Sabtu, 14 Maret 2015

Dahulu

Aku pernah sekurus itu, perut rata. Sewaktu dunia ku masih berbeda, hanya dibekalkan uang seribu rupiah ke sekolah yang hanya cukup membeli segelas es dan sebungkus roti. Pagi-pagi aku akan sarapan sekenyang-kenyangnya. Ibu ku tidak pernah membawakan ku bekal, karena akan mengurangi jatah makan siang ku. Aku kelaparan di sekolah, sebungkus roti hanya cukup menahan saat istirahat pertama, istirahat yang kedua aku akan kelaparan, belajar sungguh menguras otak dan menghabiskan begitu banyak energi. Begitu pulang ke rumah aku akan mengejar nasi, dengan lauk seadanya. Itu cukup.

Beda

Dia memegang rokoknya dengan canggung, hal yang tidak biasa dengan benda itu. Asapnya keluar malu-malu, habis bukan dihisap. Terdengar suara batuk dari mulutnya, ini asing, ini berbeda, bukan dirinya. Sikapnya berbeda, semua ditunjukkan seolah semua baik-baik saja. Semua tidak baik-baik saja, gerak tubuhnya yang mengatakannya. Setiap hari melihat puntung rokok yang bertebaran di kamar mandi, dalam asbak-asbak, aku terbiasa. Hanya ini, sedikit berbeda, ini seolah bukan duniaku lagi. Aku merasa risih dengan perilaku itu, mulai tidak menyukai dan terganggu. Dia sahabatku, merasa susah senang ingin dibagi, tapi tidak dengan begini.

Kamis, 12 Maret 2015

Taman

Aku berdiri mematung menghadap taman buatan di sebelah selatan rumah sakit. Melihat rumput-rumput yang bergerak lambat, tetesan hujan yang membasahi setiap daun disana. Tidak ada yang benar-benar bergerak selayaknya manusia, berpindah tempat. Daun-daun bergoyang riang tertiup angin selepas hujan.
Merenung seperti ini serasa tenang dan damai.

Rabu, 11 Maret 2015

Separuh Abad

Kita harus punya sikap untuk memahami dan mengerti seseorang yang sudah menjalani separuh abad hidupnya, bahwa perasaan mereka begitu sensitif, bahwa mereka merasa ingin dihargai. Mereka tidak akan menerima bentakan dan pertikaian mulut dari orang-orang yang lebih sedikit umurnya. Walau mereka berlaku salah atau bahkan tidak menyenangkan, kita harus punya sikap diam. Karena kita diajarkan untuk mengucapkan perkataan baik, atau jika tidak bisa melakukannya sebaiknya berdiam diri.
Seperti sekarang, aku hanya bisa berdiam diri ketika perkataan-perkataan yang terucapkan dari bibir yang selalu bertasbih kepada Tuhan kami itu menyakiti hatiku, perasaanku. Menusuk begitu dalam dan mengalirkan impuls ke saraf mataku untuk mengeluarkan cairan bening. Berisut menutup pintu kamar dengan pelan agar tidak terdengar marah dan frustasi, takut memperkeruh suasana dan mereka semakin tersinggung.

Untuk sahabat tersayang :*

Terkadang merindu dengan keadaan dimana kami tidak membutuhkan tas-tas bermerk yang mahal, atau sepatu heels yang harganya menyerupai dua puluh mangkok bakso. Kami hanya membutuhkan sedikit bensin dan beberapa uang receh untuk membayar karcis-karcis tempat melepas penat setelah ujian sekolah yang begitu melelahkan. Rindu dengan sahabat-sahabat yang datang dan tidak pernah pergi ketika sedang kesusahan, yang sekarang memiliki kesibukan masing-masing. Untuk menyesuaikan waktu luang yang kami punya untuk sekedar bertemu sapa dan mengenang masa-masa terdahulu.
-sahabatmu :')